JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara permohonan pengujian materi Pasal 482 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait aturan batas waktu penyelesaian tindak pidana pemilu dengan hasil putusan tidak dapat diterima.
Sidang pengucapan putusan itu dilaksakan pada pada Rabu
(16/10/2024) di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 117/PUU-XXII/2024 itu,
diajukan oleh Indra Wiliams Liempepas (Pemohon I) dan Christovel Liempepas
(Pemohon II).
Keduanya merupakan terdakwa kasus tindak pidana pemilu
yang juga calon anggota legislatif (caleg) terpilih periode 2024 – 2029.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,”
ujar Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan hakim konstitusi
lainnya pada sidang pengucapan putusan, Rabu (16/10/2024).
Berdasarkan informasi dari keterangan tertulis www.mkri.id,
dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat
menyampaikan, norma yang diajukan untuk diuji oleh para Pemohon adalah Pasal
482 ayat (1) UU 7/2017.
Pemohon menilai dengan diberlakukannya Pasal 482 ayat (1)
UU 7/2017 yang dianggap tidak jelas tersebut, menimbulkan multitafsir sehingga
berpotensi digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Para Pemohon beranggapan, Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017
memiliki interpretasi yang cenderung belum jelas sehingga menimbulkan kerugian.
Menurut Mahkamah, batas waktu sebagaimana diatur Pasal
482 ayat (1) UU 7/2017 merupakan keniscayaan yang harus diterapkan dengan
memedomani prinsip peradilan cepat (speedy trial).
Berkenaan dengan hal tersebut makna dari rumusan Pasal
482 ayat (1) a quo, yang
menyatakan, "Pengadilan Negeri dalam memeriksa, mengadili dan memutus
perkara Tindak Pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan
berkas perkara dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa"
berarti paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara, perkara
yang telah dilimpahkan berkasnya ke pengadilan negeri harus telah diputus.
Secara implisit, batas waktu dimulainya atau berlakunya
jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut adalah sudah jelas, yaitu hari berikutnya
setelah berkas perkara tersebut dilimpahkan kepada pengadilan negeri.
Selanjutnya, pengadilan negeri harus menggunakan waktu
selama 7 (tujuh) hari tersebut untuk menyelenggarakan proses peradilan yaitu
dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Dengan berpedoman pada prinsip kepastian hukum dan
peradilan cepat serta berbiaya ringan sebagaimana yang telah Mahkamah uraikan
dalam pertimbangan di atas, maka selayaknya dimulainya waktu 7 (tujuh) hari
tersebut adalah sesegera mungkin setelah pelimpahan berkas perkara, dan hal ini
secara implisit telah tercantum dalam rumusan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, rumusan Pasal 482
ayat (1) UU 7/2017 adalah cukup jelas, sehingga tidak bertentangan dengan
prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa Pasal 482 ayat
(1) UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah
tidak beralasan menurut hukum,” ujaff Hakim Arief.
Selain itu, berkenaan dengan kasus konkret yang dihadapi
oleh para Pemohon, yaitu adanya anggapan para Pemohon mengenai ketidakpastian
hukum yang ditimbulkan dari penerapan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 oleh
Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Tinggi Manado, hal tersebut bukan
merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
Persoalan bagaimana lembaga peradilan menerapkan Pasal
482 ayat (1) a quo merupakan persoalan
penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma.
Sebelumnya, terdakwa kasus tindak pidana pemilu yang juga
calon anggota legislatif (caleg) terpilih periode 2024 – 2029, Indra Wiliams
Liempepas (Pemohon I) dan Christovel Liempepas (Pemohon II) mengajukan
pengujian terkait pasal yang berkaitan dengan ketentuan waktu penyelesaian
perkara tindak pidana pemilu oleh Pengadilan Negeri (PN) setelah pelimpahan
berkas perkara. (infopublik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar